Kamis, 01 Maret 2012

Pemerataan dan Perluasan Akses Layanan PAUD

Kita sudah lama mengeluhkan mutu pendidikan, tidak terhitung kritikan dan keluhan yang dialamatkan kepada dunia pendidikan. Mulai dari yang mengerti masalah pendidikan sampai pada kalangan masyarakat yang hanya sekedar ikut-ikutan. Semua pendidik saling menyalahkan, Pendidikan Tinggi mempersalahkan pendidikan menegah, pendidikan menengah menyalahkan pendidikan dasar. Begitu selanjutnya bagaikan sebuah lingkaran setan tidak berujung, kusut tanpa diketahui bagaimana masalah pendidikan ini dapat terselesaikan. Dari sikap saling menyalahkan tersebut tidak satupun yang menyalahkan pendidikan Anak Usia Dini atau pendidikan prasekolah. Ini suatu bukti bahwa pemahaman masyarakat tentang PAUD masih rendah dan menganggap PAUD atau pra sekolah hanya sebagai pelengkap, dianggap remeh, dan boleh jadi tidak begitu diperlukan. Padahal kegagalan pendidikan seringkali selama ini karena persoalan-persoalan yang dianggap remeh dan mudah.
Sementara itu pemecahan masalah pendidikan selama ini menganut pola pikir paradoks yaitu suatu keterpaksaan memilih antara kualitas atau kuantitas. Persis seperti memakan buah simalakama, jika dimakan bapak mati tapi jika tidak dimakanpun ibu yang mati. Apalagi kalau dijual, jangan-jangan bapak dan ibunya mati sekaligus. Artinya pemerintah harus memilih antara kuantitas dengan mengabaikan kualitas atau mengutamakan kuantitas tetapi mengorbankan kualitas. Pemikiran keniscayaan memperoleh kualitas dan kuantitas sekaligus memberikan efek yang luas terhadap pemerataan pelayanan pendidikan yang sekaligus bermutu. Wajib belajar 9 tahun yang mulai mewajibkan anak usia SD dan SLTP mengikuti pendidikan merupakan salah satu contoh produk pemikiran dikotomis dalam menyelesaikan masalah pendidikan yang kompleks ini.

Pertanyaan adalah, apakah alternatif wajib belajar 9 tahun merupakan sebuah alternatif?

Para pakar dan birokrat sibuk dengan pembenaran pemikiran masing-masing tanpa didukung oleh fakta-fakta empiris. Akhirnya kebijakan pendidikan tidak mendasar dan berdasar. Pendidikan Dasar 9 Tahun merupakan contoh nyata dari kekeliruan kebijakan pendidikan yang mengakibatkan jalan buntu bagi permasalahan pendidikan yang berubah menjadi seperti lingkaran setan. Ibarat bangunan pendidikan dasar adalah slof, tetapi PAUD adalah fundamen dimana slof akan ditempatkan. Fondasi adalah bahan yang akan menhujam kebumi dan menyatu dengan tanah kemudian menjadi suatu kekuatan sinergis untuk mendukung fondasi yang disebut sekolah dasar tadi. Berapapun tingginya bangunan, kekokohannya akan sangat ditentukan oleh kekuatan fondasi yang menahan. Artinya optimalisasi kemampuan seseorang sangat ditentukan oleh seberapa kuat pula dasar pertumbuhan dan perkembangan yang dibangun pada saat anak usia dini.
Konsekuensi dari keterpaksaan pemerintah menetapkan prioritas pendidikan dasar pada Pendidikan Dasar 9 Tahun mengakibatkan pendidikan anak usia dini (usia 0-6 tahun) kurang mendapat prioritas. Pada tahun 2006 partisipasi dalam PAUD baru 28, 3 juta (46 %) dari 13.223.812 jiwa anak (Direktorat PAUD, 2007:18). Kebijakan ini baik secara langsung atau tidak langsung telah menelantarkan kesempatan anak sebanyak 54 % penduduk untuk bertumbuh dan berkembang dengan optimal karena ketiadaan kesempatan mengikuti PAUD. Dapat dibayangkan anak-anak yang 54 % ini akan mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara, yang barangkali sebagian besar akan menjadi beban masyarakat bangsa dan negara di masa yang akan datang.
Hasil penelitian Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dari berbagai sudut pandang penelitian telah menyimpulkan bahwa anak usia dini adalah masa emas ”golden age” periode perkembangan kognitif, bahasa dan sosial emosional mengalami titik puncaknya. Keterlambatan stimulasi pada usia ini mempunyai efek jangka panjang dalam kehidupan seorang manusia. Dengan kata lain keterbatasan perkembangan kogniti, bahasa, sosial dan emosional adalah implikasi dari keputusan negara yang merugikan.
Disisi lain pendidikan secara keseluruhan bersifat mengajar dengan orientasi kognitif, orientasi pendidikan internasional dengan mengabaikan nilai-nilai nilai-nilai lokal. Kurikulum lokal hanya penghias kurikulum nasional pada tataran kebijakan tanpa memperoleh perhatian yang seimbang. Akhirnya anak tercerabut dari akar budayanya sendiri, lebih berorientasi pada budaya-budaya asing yang di adopsi dari media film dan televisi. Akumulasi pengalaman pendidikan yang kurang mengakar pada nilai-nilai sendiri ini menempatkan lulusan pada posisi sulit mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan pekerjaan tradisional disamping itu juga mengalami kesulitan bersaing karena berbagai keterbatasan penguasaan bahasa asing dan keterampilan yang dipersyaratkan secara global. Akibatnya keterampilan pekerjaan lokal atau tradisional tidak dikuasai karena tidak pernah diperkenalkan, sementara itu daya kompetitif yang rendah mengakibatkan lulusan pendidikan kita menjadi pengangguran. Alam luas ini tidak lagi menjadi guru bagi pendidikan masyarakat “alam takambang jadi guru” karena pendidikan telah tercerabut dari akar sosial budaya masyarakat.
Untuk itu Pendidikan Anak Usia Dini menjadi pilihan pendidikan yang mendasar dan berdasar untuk menciptakan input pendidikan yang lebih baik bagi pendidikan selanjutnya. Apalagi penerimaan SD yang mempersyaratkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung telah menjadi trend bagi sekolah-sekolah yang ternama.
Hasil penelitian membuktikan bahwa pemberian pendidikan sejak dini akan mempengaruhi perkembangan otak anak, kesehatan anak, kesiapan anak bersekolah, kehidupan sosial dan ekonomi yang lebih baik di masa selanjutnya, jika dibandingkan dengan anak-anak yang kurang terdidik pada usia dini. Hasil penelitian tentang anak usia dini ini, setidaknya menyadarkan kita bahwa pendidikan dasar 9 tahun yang ditetapkan pemerintah (SD dan SLTP) belum mendasar dan berdasar sehinggga belum memperkuat dasar pendidikan yang sesungguhnya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah pendidikan tidaklah mungkin hanya diselesaikan pemerintah. Kebiasaan pendidikan masyarakat menunggu program yang digulirkan oleh pemerintah, disamping membutuhkan biaya yang besar juga terkendala oleh keterbatasan pendanaan pemerintah. Pendidikan yang kurang melibatkan masyarakat disamping tidak bersifat mendidik masyarakat, juga menumbuhkan sikap pasif, apatis yang dapat menjadi benalu dalam pendidikan. Untuk itu pemecahan masalah pendidikan bersifat komprehensif dan taktis, perlu melibatkan dan memperkuat pola pikir setiap lini masyarakat. Esensi pendidikan lebih dari hanya sekedar pengetahuan tetapi bagaimana membangun sikap positif terhadap nilai-nilai yang membangun dan keterampilan hidup. Oleh sebab itu pemerintah, keluarga dan masyarakat harus bekerja sama dalam pengasuhan untuk kehidupan anak yang lebih baik.
Pendidikan Anak Usia Dini sebagai substitusi pendidikan dasar yang tidak berdasar dan mendasar perlu melakukan terobosan yang lebih mengakar pada esensi permasalahan pendidikan yang dihadapi masyarakat. Permasalalahan tersebut adalah terbatasnya akses terhadap PAUD yang disebabkan oleh masalah geografis, ekonomi, sosial, budaya, dan kebijakan-kebijakan pemerintah utamanya yang berpihak kepada anak. Kebijakan yang berpihak pada anak terkait upaya optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan melalui pengasuhan dan pendidikan anak yang berkualitas.
Kebijakan pendidikan selama ini belum memikirkan input sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara input, proses dan output. Sifat menyalahkan input pendidikan sebelumnya tanpa meperbaiki pendidikan PAUD sebagai akar persoalannya adalah suatu bukti bahwa pendidikan di Indonesia masih bersifat sektoral dan belum dikembangkan secara komprehensif dan sistemik.

Tidak ada komentar: