Kamis, 01 Maret 2012

pemberdayaan TKI

Matrik Program Pemberdayaan MasyarakatKonsolidasi Program dan KegiatanBanyaknya penempatan TKI ke berbagai negara dengan devisa yang tidak sedikit, belum sepenuhnya diikuti dengan peningkatan kesejahteraan bagi TKI dan keluarganya secara berkelanjutan.Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri sebagai bagian program pendayagunaan tenaga kerja sekaligus merupakan upaya mengurangi pengangguran, telah berlangsung sejak era pembangunan jangka panjang pertama. Ditjen Binapenta cq Direktorat Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri tahun 1998 telah menempatkan TKI pada Pelita IV : 292.262 orang, Pelita V : 652.272 orang, Pelita VI : 1.750.000 orang dan Renstra Depnakertrans 2005-2009 menargetkan 3.500.000 orang, tersebar ke berbagai negara di kawasan Timur Tengah, Asia Pasifik, dan Benua lainnya mengisi jabatan yang terbuka untuk TKI.

Undang-undang Nomor : 39 tahun 2004, pasal 3 menegaskan bahwa penempatan dan perlindungan TKI bertujuan : (a) memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dengan manusiawi, (b) menjamin dan melindungi calon TKI/TKW sejak di dalam negri, di negara tujuan sampai kembali ke tempat asal di Indonesia, dan (c) meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

Banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negri tidak memiliki rencana setelah kembali ke daerah asal , hanya 9,7 % menyatakan ingin bekerja atau berusaha memanfaatkan hasil bekerja di luar negri .(Studi Perluasan Kesempatan Kerja Bagi TKI Purna Tugas, 1997/1998). Hasil kajian tentang remitensi menyatakan bahwa umumnya TKI di luar negeri mengelola upahnya sendiri dengan cara di tabung di Bank sekaligus dikirim kepada keluarga, dengan anjuran agar TKI /keluarga tetap menyisakan 60% uang di buku tabungan untuk modal kerja nantinya. (Pengkajian Remittance Bagi TKI Program AKAN , 1993).

Mantan TKI adalah warga negara yang memiliki potensi berupa hasil kerja selama di luar negeri, pengalaman dan keberanian. Pada sisi lain mantan TKI umumnya memiliki keterbatasan untuk dapat mengembangkan potensi yang dimiliki, antara lain disebabkan latar belakang rendahnya faktor pendidikan, motivasi dan ketrampilan serta kesempatan memperoleh pembinaan teknis di luar persiapan sebagai TKI (Studi Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negri, 2007).

Atas dasar pemikiran di atas, studi Pengembangan Pola Pembinaan TKI Purna dilaksanakan.

B. Permasalahan

1. Bagaimana TKI Purna tetap menjadi tenaga kerja produktif.

2. Bagaimana program pemberdayaan masyarakat menjangkau TKI Purna.

3. Bagaimana pola pembinaan TKI Purna yang dikembangkan.


C. Tujuan Penelitian

Studi ini bertujuan adalah untuk : (a) engidentifikasi potensi TKI Purna, (b) mengidentifikasi program pemberdayaan masyarat, dan (c) merumuskan pola pembinaan TKI Purna.

D. Temuan

1. Potensi TKI Purna

1. Identitas TKI Purna Identitas TKI Purna
TKI Purna yang diteliti 205 orang terdiri laki laki 21 (10,24%) rata rata umur 31 tahun dan perempuan 184 (89,76%) dengan rata rata usia 28 tahun. Sebagian besar responden tamat SLTP (60,0%), selebihnya terdiri dari tidak tamat SD, tamat SD dan sedikit yang tamat SLTA. Sebagian besar TKI Purna berstatus kawin (60,49 %), hanya 10,24% berstatus janda/duda. Tingginya persentase TKI yang berangkat dengan status kawin mengindikasikan besarnya tekanan ekonomi rumah tangga yang memicu responden berangkat meninggalkan keluarga untuk mencari nafkah di luar negeri. Sebagian besar responden memiliki beban tanggungan 3 orang dan lebih (43,41%), sebesar 6,83 persen tidak mempunyai tanggungan ketika menjadi TKI.

2. Karakteristik Khusus
Tabulasi silang antara pekerjaan sebelum menjadi TKI dan pekerjaan saat ini, terdapat temuan yang menarik, dari 4 orang wiraswasta sebelum menjadi TKI hanya 1 orang tetap berwiraswasta, 1 orang bekerja, dan 2 orang tidak bekerja. Sebanyak 71 orang (34.63%) statusnya tidak berubah sebelum dan setelah menjadi TKI, mereka tetap menganggur.

Jika pekerjaan sebelum menjadi TKI dilihat menurut jenis kelamin, tampak bahwa perempuan yang berangkat menjadi TKI lebih banyak (86,09%) dibandingkan dengan laki-laki yang berangkat ke luar negeri (13,91%). Namun dilihat yang tidak bekerja, ternyata perempuan juga paling banyak ketika akan bekerja di luar negeri mencapai 96.47 persen.


3. Kualifikasi TKI Purna Berdasarkan Skor Dimensi
* Kondisi Secara umum Secara keseluruhan baik di Jawa Tengah maupun Nusa Tenggara Barat mempunyai profil yang sama yaitu memiliki kategori “sedang” untuk keenam dimensi yang diukur, kategori tinggi berkisar antara 15 hingga 25 persen.
* Kualifikasi TKI Purna Berdasarkan Skor Total Skor total menunjukkan fenomena bahwa responden di Jawa Tengah mempunyai skor kategori tinggi dan yang sangat rendah hanya 2,86 persen, di Nusa Tenggara Barat mencapai 41 persen. Tampaknya kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) di Nusa Tenggara Barat - yang dilihat dari 6 dimensi yang sudah diaggregasi ini – mempunyai pola kategori “sedang” dan “tinggi” mencapai 90,0% (49,0%+41%). Kategori sedang di Jawa Tengah mencapai tiga perempat dari sampel yang ada (71,43 %). Jika dilihat menurut jenis kelamin, laki-laki mempunyai distribusi kategori tinggi yang terbesar dibandingkan dengan perempuan. Kategori sedang merupakan pola umum pada SDM Perempuan. Jika dilihat menurut pendidikan, secara umum, sebagian besar TKI Purna yang diteliti memiliki SDM “sedang” (60,49%), jika diteliti lebih jauh, pada kelompok SLTP dan SLTA dominasi kategori SDM “sedang” tampak nyata (65,85% dan 63,64%). Banyaknya TKI Purna pada kategori “sedang” menunjukkan bahwa TKI Purna perlu mendapatkan pembinaan.


2. Program Sektoral Pemberdayaan Masyarakat
Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat melalui instansi sektoral memiliki program yang diarahkan untuk memberdayakan masyarakat, dalam bentuk pengembangan kapasitas SDM pembina di perdesaan dan fasilitasi pengembangan kelembagaan, pembentukan kelompok masyarakat dan fasilitasi perorangan. Skema program berupa : sosialisasi, pelatihan managerial dan bimbingan teknis, bimbingan usaha, bantuan peralatan dan modal. Kecuali di Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Provinsi Nusa Tenaggara Barat maupun BP3TKI Semarang belum ada secara khusus pemberdayaan masyarakat dengan peserta mantan TKI. Secara hirarkhis baik melalui jalur vertikal antara instansi pusat dengan instansi sektoral di daerah, terdapat hubungan fungsi subtansi sektoral. Dalam era otonomi daerah, dinas teknis sektoral disamping menjalankan tugas otonomi juga mengerjakan kegiatan dekonsentrasi sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, juncto Undang-Undang Nomor : 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Dalam pelaksanaan seringkali dilakukan sistem kemitraan dengan pihak berkompeten seperti : konsultan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Persoalan timbul manakala konsultan/LSM tidak tepat sesuai bidangnya, hal ini terjadi karena kegiatan proyek sering turun/cair bersamaan, sehingga pelaksanaan acapkali tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan, bahkan terjadi istilah langganan peserta program. Pada sisi lain mantan TKI sebagai tenaga kerja dan warga masyarakat belum banyak ikut menjadi peserta pelatihan yang diselenggarakan. Wawancara dengan pejabat suatu Instansi di Nusa Tenggara Barat, dikatakan bahwa sangat disayangkan dengan banyaknya program dan kegiatan tetapi desa dan masyarakatnya tetap saja tidak berkembang. Melihat banyaknya program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat antar instansi baik pusat maupun daerah, bukan tidak mungkin para mantan TKI dapat dipersiapkan untuk bisa menjadi peserta bimbingan, sehingga menjadi tetap bekerja untuk kesejahteraan diri dan keluarganya (amanat UU Nomor : 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Nageri, pasal 3). Untuk memberi gambaran betapa fasilitasi pemerintah dan pemerintah daerah dalam memberdayakan masyarakat melalui penyelenggaran program dan kegiatan di Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah, dapat diperhatikan matrik berikut :

Tidak ada komentar: