Sabtu, 24 Juli 2010


Money Politic Dan Cost Politic

Oleh : Juwaini,S.Pd

Sekretaris PCPM Babadan Ponorogo

Penggiat Madin Darul Arifin Ponorogo

Sehari setelah Pemilukada Ponorogo kita dikejutkan dengan pemberitaan media radio local tentang sekelompok warga yang membakar kertas suara karena merasa tidak mendapat bagian uang untuk memilih. Mereka merasa dibedakan karena tetangga lingkungan mereka dapat, sedang mereka tidak dapat. Komentar mereka ditambah dengan alasan ini adalah uang lelah.Karena kami sudah berusaha pergi ke TPS meninggalkan pekerjaan, jadi sangat wajar kami mendapatkan ganti. Toh mereka yang kami pilih pada akhirnya juga mendapatkan uang yang jauh lebih besar dari kami.

.
Almarhum Nurcholish Madjid pernah bicara soal visi, misi, dan gizi dalam praktik politik di Indonesia. Dia bilang kala itu, praktik politik Indonesia tidak hanya memerlukan visi dan misi, yang bisa menakar kemampuan dan intelektualitas calon pemimpin, melainkan juga memerlukan gizi. Gizi tidak lain adalah bagaimana uang bekerja dalam politik di Indonesia.


Di dalam praktiknya, dalam ranah publik orang gencar berbicara soal praktik politik uang (money politics). Sampai di sampai didaerah pinggiran orang bicara money politics. Apa persis arti dari kata itu bukanlah soal. Yang umum diketahui bahwa uang dipakai untuk membeli suara rakyat. Bahkan pandangan sinispun memasyarakat tidak akan nyoblos kalo tidak ada uang. Karena dianggap sebagai ganti lelah tidak bekerja 1 hari karena waktunya digunakan untuk memilih. Sangat bisa dimaklumi bagi orang swasta yang mengadalkan tenaga mereka untuk bekerja harian. Libur berarti tidak gajian.

Sementara yang berkomentar bahwa money politik sangat tegas dilarang bahwa orang menyebar uang akan dikenakan sangsi adalah mereka yang berada pada posisi aman secara ekonomi, gaji bulanan. Alasan yang tepat untuk pulang lebih awal dari tempat kerja dan bisa dimaklumi karena memang alasan masuk akal. Gaji tetap dibayar penuh 1 bulan.

Dalam sistem ketatanegaraan modern prinsip trias politica adalah cara menyeimbangkan kekuasaan dari masing-masing lembaga (eksekutif, yudikatif dan legislatif). Tetapi dalam praktiknya tiga institusi ini seringkali berkolusi. Semua itu terjadi karena adanya sikap tunduk di bawah penggunaan anggaran. Akumulasi anggaran yang begitu besar di eksekutif membuat dua lembaga lainnya yakni yudikatif dan legislatif cenderung bergerak menyokong eksekutif. Bagaimana kebijakan menaikan anggaran gaji dan tunjangan para anggota dewan akan bisa dijegal, apabila diselaraskan dengan kenaikan tunjangan pada eksekutif itu sendiri.

Kalau masalah uang siapa yang tidak mau?. Kompak untuk kepentingan bersama toh juga masyarakat yang berteriak juga hanya punya pamrih untuk minta sedikit bagian dengan mengatasnamakan organisasi kemasyarakatan. Dan sebagian yang lain hanya bergumam berbicara dari mulut kemulut sebatas diwarung dang a akan terdengar oleh mereka yang memegang kekuasaan. Bahkan bila mereka berdemo maka pandangan sinis yang sebenarnya nyata menghampiri mereka. Masyarakat yang berdemo hanya punya ditunggangi kepentingan lain oleh profokator mereka. Mereka berdemo untuk mendapatkan upah dan lain sebagainya.

Meskipun pada awalnya kita sering mendengar sikap kritis anggota dewan yang tidak mau menerima untuk menaikan intensif dari mereka. Dengan alasan menghianati amanat rakyat, rakyat banyak yang miskin kita juga harus ikut merasakan penderitaan mereka. Basa basi politik yang sudah terlalu sering kita mendengarnya. Tapi itu cerita lucu dengan akhir yang mudah ditebak. Awal untuk kejutan popularitas sekedar bisa nampang dan berteriak didepan media. Dengan akhir uang masuk rekening juga.

Pertarungan lalu terjadi pada wacana. Praktik politik uang (money politics) bergeser ke political cost. Politik membutuhkan ongkos dan karenanya tidak salah kalau politik memerlukan dan mengeluarkan biaya. Kalau kita mobilisasi massa, bukankah kita membutuhkan dana? Inilah yang disebut political cost, kata mereka. Money politics dan political cost sesungguhnya hanya berbeda dalam modus operandi-nya.

Jika kita mengatakan ke TPS butuh uang sebagai ganti kerja kita seharian. Dalam kampanye massa perlu uang untuk bisa datang ke tempat kampanye. Perlu uang bensin. Massa juga perlu kekompakan mengenakan kaos dengan gambar yang sama. Ini apakah juga cost politic? Iya kalau masuk ranah hukum hanya siapa yang menjadi pengacara kita tentunya bisa menentukan tingkat kasuistis semacam ini.


Banyak orang berada di sekitar politisi bukan karena kesamaan kepentingan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat umum melainkan untuk mendapatkan apa dari persekutuan politik tersebut (who gets what). Karenanya kita tidak perlu heran mengapa tim sukses menjadi kaya mendadak? Calon ketiban sial, yang kenyang adalah tim suksesnya. Dia mendapatkan uang dari biaya politik tersebut, entah dana penggalangan massa atau dana pemenangan. Logikanya tetap sama: tidak ada makan siang yang gratis. Toh tujuan dari pencapaian dalam pemilihan adalah bargaining politik yang ujungnya adalah uang. Mereka mencari kerja untuk mendapat uang yang melimpah mengapa kita yang dipekerjakan tidak mendapatkan.



Ada yang bilang tidak efektif kita berbicara soal visi dan misi dalam kondisi keterbatasan pemahaman dan pengertian masyarakat. Hasil survei juga menunjukkan bahwa masyarakat tidak mempedulikan kapabilitas calon. Masyarakat toh tidak mengerti terlalu banyak soal visi dan misi. Karena itu politisi lebih bersikap pragmatis saja: bagaimana mendapatkan dukungan massa dengan cara yang paling mudah. Untuk apa bersusah-susah bicara visi dan misi, toh masyarakat tidak terlalu banyak paham. Karena itu politisi lebih memilih mencari cara yang lebih mudah untuk mendapatkan dukungan massa.

Visi misi hanya bisa pada mobilisasi massa yang banyak pada jam tertentu saja. Butuh biaya besar dengan orasi yang butuh banyak waktu agar menarik dan bisa didengar dengan terus menerus oleh massa. Pada moment semacam ini massa lebih minat pada hiburan nya saja. bila berhadapan dengan perkumpulan massa. Bila dihadapkan dengan lingkungan perkumpulan masyarakat visi dan misi hanya bisa dilakukan di organisasi yang notabene mereka juga sudah ada ketergantungan dengan 1 calon tanpa melihat visi misi apa yang disampaikan.

Visi misi ini menjadi lucu ketika satu calon dengan yang lain berbeda soal apa yang dikerjakan dalam pemerintahannya apabila dilantik, kemudian visi calon yang pertama diajukan kepada calon yang lain maka otomatis akan di amini juga toh tidak ada visi misi yang jelek. Fleksibel dan basa-basi untuk memikat sedikit orang yang mengaku kritis dan tidak menyentuk sebagian besar partisipan pemilih.

Dalam pilkada visi misi tidka berubah dari tahun ketahun tentang isu pendidikan gratis, pajak gratis, kesehatan gratis, pembangunan merata berbagai sector. Toh tidak ada aturan yang mengikat mereka untuk masuk penjara jika mereka mengingkari visi misi mereka.

Jika visi misi ini disampaikan kepada komunitas kumpulan masyarakat maka titik akhirnya adalah apa yang akan disumbangkan oleh kontestan pemilu untuk daerah yang didatangi., jika tidak ada maka hanya terjadi istilah no action talk only. Ngomong tok banyak yang bisa. Pada selebaran agaknya visi misi hanya jarang dibaca dalam masyarakat yang notabene masih suka melihat daripada membaca. Bila ini ditayangkan dalam media televisi maka bisa dibayangkan betapa nekatnya para politisi itu mengeluarkan biaya yang begitu besar . hanya untuk membenamkan satu dua istilah saja.

Agaknya visi misi menjadi gambaran ideal pada tatanan ide konsep dengan pengaplikasian yang sulit diterapkan. Dalam langkah riil. Kita sering mengadopsi pada masyarakat yang sudah mapan dalam berdemokrasi tanpa tahu aplikasinya pada masayrakat kita. Terkesan hanya formalitas asal syarat terpenuhi saja.

Masyarakat pun minta duluan. Daripada makan janji, lebih baik makan uang sekarang. Visi dan misi disisihkan ke samping. Pemilih lebih pentingkan gizi. Gizi bisa berupa uang. Orang yang datang toh perlu makan daging. Jangan heran caleg mati kutu ketika tak terpilih. Karena dana politiknya terkuras habis. Jadi, pemilu juga kesempatan memperbaiki gizi.

Gizi politik dengan atas nama cost politik atau money politik sebuah ironi yang mendalam yang selalu ditanggapi dengan argument proses pembelajaran demokrasi perlu waktu. Perlu banyak biaya untuk penyadaran masyarakat. Butuh waktu pembelajaran mencerdaskan masyarakat. Inilah argument karena pengamat dapat upah dari apa yang dikatakan.

Apakah kita memang ideal untuk menerapkan ini yang jelas belum ada konsep yang ideal yang secara riil bisa diterapkan kecuali pada tingkatan personalia dari para elite politik yang santun yang berbudi yang tulus ikhlas untuk mendidik masyarakat pemilih bahwa kejujuran ketulusan hati, sentuhan, langsung terjun langsung, memperhatikan, mendengar memberikan solusi dari masyrarakat luas. Yaa.. begitu luas otoritas wilayah untuk selalu secara kontinu telaten dan sabar. Maka politik akan nampak terhormat dan dipandang solusi cerdas untuk negeri kita.

Tidak ada komentar: