Rabu, 20 Mei 2009

Aku Hanya Antonio Cassano

London - Mengikuti kehidupan pemain sepakbola Italia, Antonio Cassano, sungguh sangat berbeda dengan menelaah kehidupan pemain sepakbola pada umumnya. Biografi pemain sepakbola biasanya sangat membosankan, penuh dengan cerita seragam, bagaimana keinginan untuk meraih prestasi puncak adalah segalanya. Perjalanan hidup adalah sebuah cerita dedikasi, keprihatinan, kerja keras, kehidupan 24 jam untuk sepakbola.

Cassano mendekonstruksi semua itu. Ia mencintai sepakbola dan merupakan salah satu pemain paling berbakat yang muncul dari Italia untuk generasinya, tetapi pada saat bersamaan ia melihat sepakbola sekadar bagian dari kehidupannya. Di atas segalanya ia mencintai kehidupan itu sendiri. Tentu saja kehidupan dalam rumusan Cassano.

Hidup bagi Cassano adalah untuk mengejar kesenangan pribadi: perempuan, makan enak -- maksudnya makanan sampah alias junk food, dan foya-foya. Dalam usianya yang baru 26 tahun ia mengaku telah bercinta dengan 600 hingga 700 perempuan. Ketika umur 12 tahun ia sudah membayangkan bercinta dengan guru sekolah dasarnya. Ia mengaku berulang kali diam-diam memasukkan perempuan ke kamar hotelnya malam sebelum bertanding. "Bercinta sepuasnya dan makan: malam yang sempurna," akunya.

Seorang komentator sepakbola Italia menyebut Cassano, kalau mau, berpotensi untuk menjadi pemain terbaik dunia. Fisiknya hebat, skill dan tekhniknya di atas rata-rata, di samping mempunyai kecepatan gerak yang mengagumkan. Tak heran kalau Fabio Capello kepincut dan membawanya ke Real Madrid walau harus merogoh 18 juta poundsterling. Cassano baru berusia 22 tahun saat itu.

Tapi Cassano adalah pengecualian. Ia berlatih kalau hati sedang lega. Tak segan membantah pelatih, bahkan menentang mereka. "Kalau hari terlalu terik, saya akan bermain di tempat yang teduh," ungkapnya seperti mengisyaratkan tindak tanduk semaunya.

Kalau bertanding dan manajer tidak puas dengan penampilannya, ia tak segan membalas, "Kalau tak puas mengapa, bukan kau saja yang turun ke lapangan?" Ia juga tak segan berpura-pura cedera karena malas bermain.

Ia mengaku tak khawatir kalau dalam hidupnya sebagai pemain sepakbola tak pernah memenangi satu piala pun. "Dunia ini terobsesi dengan kesuksesan. Seolah kita harus berkorban untuk meraih itu. Pada akhirnya kita ini hanyalah angka statistik. Piala datang dan pergi setiap tahun," katanya.

"Kecuali kita Maradona atau Pele, tak akan ada yang mengingat kita," katanya acuh. "Yang penting saya hidup lebih dari cukup dan senang."

Ia mengatakan tak hendak mengubah pendekatannya ini. "Paling saya hanya akan memberikan 50 persen dari potensi yang saaya miliki," terserah klub mau mengontrak saya atau tidak, begitu kira-kira kelanjutannya.

Sungguh mengherankan bahwa sikap blak-blakan yang diungkapkan oleh Cassano tidak menyurutkan manajer sepakbola untuk mengontraknya. Ia saat ini bermain untuk Sampdoria.

Mungkin para manajer sepakbola setelah melihat potensi Cassano berangan-angan merekalah yang akan mampu mengubah perilaku Cassano. Kalau itu bisa mereka lakukan dan Cassano memenuhi potensi kehebatannya, betapa permata ada di tangan mereka.

Atau jangan-jangan 50 persen kemampuan Cassano sudah cukup untuk para manajer itu. Atau yang 50 persen itu sebenarnya sudah cukup untuk sepakbola. Bukankah Cassano juga dipanggil untuk tim nasional Italia walau bukan sebagai pemain inti?

Bagi dunia sepakbola kasus Cassano mungkin sebuah kehilangan, kesia-siaan bakat, untuk memperkaya khasanah persepakbolaan. Tetapi untuk potret besar kehidupan, terlepas dari setuju atau tidak dengan pemaknaan hidup yang dipegang Cassano, sungguh menyegarkan. Sepakbola bukan segalanya tetapi sekadar sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain.

Tidak ada komentar: