Minggu, 29 Maret 2009

playboy

SETIAP kali memikirkan majalah Playboy, saya membayangkan Hugh Marston Hefner dengan kimono sutera sedang bersantai di Playboy Mansion West miliknya di Los Angeles, melepas kepenatan bersama 6-8 TTM (teman tapi mesra)-nya yang berpinggul brontosarus. Atau, ia tengah menyesap red wine bertahun kelahirannya, 1926, di dalam pesawat jet pribadi yang melesat di atas 36.500 kaki Samudera Atlantik. Bersamanya, dalam perjalanan mengunjungi imperium bisnis Playboy, ia didampingi seorang asisten pribadi berambut panjang yang diikat dengan scarf, menampakkan leher yang jenjang. Blus katun biru ketat yang dipakainya menonjolkan lekuk lembut payudara yang kencang. Perutnya mengintip sedikit, bercelana panjang putih dari katun dan membungkus tungkai panjang yang terjulur dengan betis ditumpangkan pada kaki yang lain.Anda pasti mengira hidup bapak pendiri Playboy itu menyenangkan (saya kira juga begitu), sehingga ada banyak sekali lelaki di dunia mau menukar kehidupannya dengan Hef meski satu hari saja. Mungkin itu sebabnya Opa Hef panjang umur. Sewaktu merayakan 50 tahun penerbitan Playboy pada Januari 2003, ia berseloroh, “Ada tiga penemuan besar dalam peradaban, yaitu api, roda, dan Playboy .“Penyetaraan api, roda, dan Playboy tak berlebihan jika sebuah “temuan kecil yang menghasilkan implikasi besar” jadi ukuran. Satu dekade sejak terbit perdana tahun 1953, Playboy terjual lebih dari sejuta eksemplar per bulan. Tahun 1960-an, Hef sudah menjadi ikon “lelaki sukses karena impiannya.”Tahun-tahun itu, ia memandu sebuah acara populer bertajuk Playboy’s Penthouse yang ditayangkan melalui sindikasi televisi. Ia juga mendirikan Playboy Mansion dan membuka Playboy Club pertama di kota kelahirannya, Chicago. Hef menulis rutin editorial Playboy (The Playboy Philosophy) yang memperjuangkan hak-hak sipil seperti kebebasan berekspresi. Kolumnis Bob Greene, pada masa itu menyebut Hef dan Playboy sebagai “a force of nature” (kekuatan alam). Tahun 1971 sejak Playboy Enterprises go public, sirkulasi majalah Playboy mencatat 7 juta eksemplar per bulan.Itu belum seberapa. Playboy Enterprises juga mengelola 23 Playboy Clubs, sejumlah resor, hotel, dan kasino dengan lebih dari 900 ribu anggota dari penjuru dunia. Tahun 1980, komunitas Hollywood mengabadikan nama dan cap kedua telapak tangannya dalam walk of fame. Di usia menjelang 80 tahun (9 April mendatang), Hef masih sibuk dan menyibukkan diri. Pertengahan 1980-an, setelah kewenangan sebagai CEO Playboy Enterprises diserahkan kepada puterinya, Christie Hefner, ia kembali meneruskan kepemimpinan di redaksi penerbitan serta tevekabel dan produksi video Playboy.Kepemimpinan Hef dikenal sangat inspiratif dan visioner. Dikenal juga sebagai seorang pemimpin ber-IQ 152 dan ia suka memublikasikan parameter kecerdasan yang membanggakan ini. Dengan begitu, seolah ia ingin berkata kepada dunia, “Anda pikir otakku cuma setingkat ini?” (sambil menunjuk bagian bawah perutnya).Citarasa komunikasi visual dan sense of humour-nya yang genial menjadikan Playboy dikenal luas hingga sekarang. Orang-orang boleh tak suka pada foto-foto Playboy yang – menurut mereka – porno, tapi tidak lantas merasa muak dan membencinya seumur hidup. Spektrum isi yang luas dan fleksibel terhadap isu-isu mutakhir tentang segi-segi kehidupan dan digarap penuh dedikasi, memungkinkan Playboy diapresiasi layak, baik oleh kalangan yang pro maupun kontra. Singkatnya, Playboy berhasil melakukan sublimasi kultural: mengubah dorongan naluri primitif menjadi sesuatu yang dapat diapresiasi oleh masyarakat yang beradab.Fakta bahwa Playboy merupakan majalah yang diterima luas – semisal dengan adanya Kanal Playboy, pertunjukan Playboy Bunny, dan aneka pertunjukan di Playboy Club oleh aktor yang juga psikolog Bill Cosby – berarti ia dianggap masyarakat tak merugikan secara keseluruhan. Elaine Fox, eksekutif hubungan masyarakat untuk Playboy pernah berkata, “Playboy belum pernah terbukti bersalah secara pornografis di pengadilan mana pun.” Setiap model (terutama yang pernah berpose untuk Playboy) umumnya melukiskan Playboy “erotis dan sensual,” tapi sama sekali tidak pornografis.Di Indonesia, banyak sebetulnya orang kita yang (diam-diam) menyukai Playboy. Ada yang memang berlangganan, oleh-oleh dari luar negeri, meminjam koleksi teman atau berjuang mendapatkan edisi lawasnya di lapak-lapak dekat Terminal Senen.Di kalangan pembaca serius dan rakus bacaan seperti saya, Playboy menjanjikan liputan tentang isu penting yang ditulis mendalam dan memikat, sekaliber reportase yang dilakukan oleh para kontributor majalah feature seperti The New Yorker, Granta, Harper's Magazine, dan Vanity Fair. Begitu pula wawancara dengan tokoh-tokoh penting dunia – taruhlah Jimmy Carter dan Donald J. Trump – acapkali menyajikan kedalaman perspektif dan tetap menghibur.Dari aspek jurnalisme, Playboy patuh pada standar etis-profesional pers, sesuatu yang masih diabaikan (atau memang tidak tahu) oleh majalah yang mencoba jadi epigon Playboy di sini. Ambil contoh by line (pencantuman nama penulis/wartawan di depan artikel dan firewall (pagar api atau garis tipis pemisah antara artikel dan iklan), sudah lama Playboy menerapkannya.Jika atas nama pornografi – karena kini DPR sedang menggodok RUU Antipornografi dan Pornoaksi – Playboy dilarang terbit, maka bukan saja orang-orang seperti saya akan kehilangan kesempatan menikmati Playboy rasa Indonesia; tindakan itu tergolong diskriminatif dan cenderung represif.Kita tahu, keberhasilan Playboy melahirkan para epigon lokal. Tahun 1991, kepada saya mantan Wakil Pemimpin Redaksi N. Riantiarno, terang-terangan mengakui isi majalah Matra menggabungkan konsep majalah Playboy dan Esquire. Dibanding Matra, majalah Popular justru lebih erotis dan sensual. Ada pula lisensi seperti For Him Magazine (FHM) yang ke-playboy-playboy-an. Jadi, kalau penerbit Playboy Indonesia telah menjamin takkan meniru kelakuan Playboy induknya dan mengatur distribusinya jatuh ke tangan yang tepat, lalu mengapa kita bersikukuh menolaknya? Tidakkah sebaiknya kita memberi kesempatan yang sama? Penerbit pasti cukup mafhum pada kepekaan sebagian masyarakat Indonesia terhadap reputasi kontroversial Playboy selama ini.Kita tidak dapat mencegah terbitnya Playboy Indonesia dengan alasan kekhawatiran di tengah liberalisasi media pascareformasi sedang berlangsung. Tidak juga bisa melarang perempuan untuk berpose – ini hanya soal waktu – tapi kita dapat menggugah orang untuk meninjau kembali nilai-nilai dan tindakannya, serta berbagai pengaruh yang mungkin timbul akibat keputusannya itu. Misalnya, bagaimana penerbit Playboy Indonesia menepis tuduhan kaum feminis? Bahwa Playboy mengukuhkan stereotip seksual dengan menggambarkan perempuan sebagai obyek seksual. Jangan lupa, gerakan perempuan dewasa ini mengaitkan pornografi dengan perempuan yang digebuki, perkosaan, incest, penganiayaan anak, dan pelecehan. Demikian pula kalangan kontra, yang sebetulnya tak cuma mempersoalkan perempuan telanjang atau ketelanjangan; pornografi menyangkut kekerasan, bukan sensualitas.Playboy mengkhawatirkan justru karena sudah diterima begitu luas dalam masyarakat. Tanpa kehadiran Playboy pun, banyak media cetak dan situs cabul lokal di internet beredar. Orang membayangkan, bagaimana seandainya Playboy ada? Penerimaan publik terhadap majalah Playboy dikhawatirkan merangsang terbitnya publikasi lain yang lebih ofensif secara seksual dan lebih eksplisit seperti majalah Hustler. Pornografi lunak (soft-porn) Playboy memungkinkan pornografi keras kelak menjadi makin keras (hard-core), untuk disiarkan di media massa. Ini berarti, Playboy Indonesia turut bertanggung jawab untuk menjamin bahwa penerbitannya tak merugikan masyarakat luas sebagaimana kekhawatiran para penentangnya.

Tidak ada komentar: