Kamis, 10 November 2011

Wejangan Buto Cakil: Ngelmu Makripat

Pada suatu hari yang cerah Sri Paduka Buto Cakil sedang berjalan jalan mencari angin mengelilingi daerah kekuasannya di Republik Buto, seketika dia berhenti disebuah pondok pesantren yg mempunyai ribuan santri, rupanya dia tahu itu adalah pesantren beraliran cenderung radikal dan tidak kompromi dengan budaya setempat, maka dia pun masuk langsung menemui pimpinan dari pondok tersebut dengan kesaktiannya, seketika sang kyai pemimpin pondok itu terkejut ketika tiba2 didepannya sudah berdiri makhluk berwujud manusia tapi buruk rupa dan bermahkota, sang kyai pun tampak komat kamit membaca ayat2 suci dengan maksud untuk mengusir si makhluk itu, tapi sang paduka buto cakil tampak tenang tenang saja dan memulai pembicaraan

Cakil : "sudahlah kyai percuma komat kamit utk mengusirku, karena aku tidak bermaksud jahat"

kyai : "Hai siapa kamu? demit setan iblis keluar dari ruanganku!!"

cakil : "apa begitu sambutan seorang ahli agama terkemuka terhadap sesama makhluk tuhan?"

kyai : "kamu ini siapa? mau apa kemari? disini adalah pesantren tempat yang suci dan makhluk kafir sepertimu haram hukumnya datang kesini"

cakil : "perkenalkan aku adalah Cakil penguasa Republik Buto yang menjadi cerminan dari republik tempat kamu berada, memang benar aku ini bukan manusia sepertimu tapi aku juga sama2 makhluk Tuhan yg punya hak hidup sedangkan maksud kedatanganku adalah untuk emnguji seberapa pintarnya kamu karena kulihat santrimu sudah ribuan dan lulusannya banyak yg menjadi orang2 sukses, jika kamu merasa kurang cukup pintar untuk beradu wawasan denganku maka aku akan pergi dengan sukarela"

kyai : "kurang ajar, berani2nya kamu setan mengatakan aku kurang pandai dibanding kepintaranmu, perlu kamu ketahui derajat manusia itu lebih mulia dibanding makhluk2 rendah semacam kamu dan sejenisnya, maka hendaklah kamu tobat dan mengikuti agamaku serta nyantri kepadaku supaya kamu selamat masuk surga tidak dilaknat oleh Tuhan"

Cakil : "hehehehehehe, emangnya itu surga kepunyaan simbahmu kok berani beraninya menvonis aku bakal masuk neraka kalo tidak masuk kedalam agamamu, aku hidup memang sebagai buto bahkan raja dari para buto sedangkan aku punya darma tersendiri yang aku jalani sebaik baiknya yaitu menggoda manusia, sedangkan darma kamu sebagai manusia adalah berbuat baik seperti halnya yg tercantum di kitab agamamu itu"

kyai : "lha memang benar to kalau setan dan sejenisnya ya termasuk kamu itu bakalan masuk neraka karena dilaknat Tuhan, sedangkan golongan yg selamat sampai surga adalah yg menganut agamaku titik, tidak ada keraguanku atas itu semua, maka bertobatlah kamu dan ikutilah aku sebelum terlambat"

cakil : "sudah kubilang emangnya itu surganya simbahmu, kamu ini suka bikin lelucon aja, itukan katanya kitabmu yang ditafsirkan macam2 oleh pemuka2 agamamu dan juga kamu sendiri, apa kau pikir dengan mengutip ayat2 dari kitab sucimu maka sudah bisa dikatakan ahli agama? kalau menurutku masih jauuuh, bahkan aku buto yang kafir ini lebih mengerti agama dibanding kamu ini"

kyai : "heemmm baiklah kalo kamu tidak mau bertobat, kalo begitu kamu tanya apa saja tentang agama maka apabila tuhan mengizinkan aku bisa menjawab semoga bisa menjadi bahan renungan buatmu utk segera bertobat"

Cakil : "baiklah pak kyai yang terhormat, kalo boleh saya yang kafir ini bertanya, bagaimana caranya dzikir yg bermakrifat dan tingkatannya?"

kyai : "haha itu pertanyaan gampang, baiklah aku jawab, dzikir itu adalah mengingat Tuhan dan hanya ada dua tingkatan yaitu dzikir terucap dan dzikir tersembunyi atau sirri, dzikir yg zahir atau terucap itu ya menyebut asma Tuhan atau bacaan yg diajarkan oleh rasulku dengan jumlah tertentu tanpa dikurangi atau ditambahi, apabila dikurangi atau ditambahi atau juga bukan yg nabi ajarkan maka itu termasuk bid'ah dan sesat, dan yg dimaksud dzikir sirri adalah dzikir halus dimana kita mengingat Tuhan dimanapun dan dalam kondisi apapun, sedangkan hubungannya dengan makrifat adalah pemahaman kita yg arif menyikapi tuntunan nabi tersebut, sebaik baik pemahaman adalah pemahaman salafus soleh atau orang2 terdahulu yg dekat dengan nabi, sedangkan umat sekarang bukan salafus soleh maka harus mengikuti salafus soleh supaya menjadi makrifat atau arif"

cakil : "heemmm.......jawabanmu memang cerdas tapi masih terpasung oleh ruang waktu di masa lampau, kamu lupa bahwasanya kamu hdiup dijaman sekarang yg sudah modern, sedangkan orang2 salaf yg kamu idolakan itu sudah mati"

kyai : "aku hanya berpatok pada dalil yg mengatakan diantara 73 golongan hanya ada satu yg selamat yaitu golongan ahlusunnah waljamaah tidak dengan yg lainnya termasuk yg setia dengan budaya2 setempat yg bid'ah itu, golongan ahlus sunah itu ya yg mengikuti manhaj salafus soleh, sedangkan sebaik baik golongan ya mereka itu, titik, maka sudah pasti mereka itu makrifat"

cakil : "yaa itu sih terserah kamu kalau mau terkurung dimasa lalu, kamu sebagai pemuka agama seharusnya bisa melihat kedepan tidak hanya berpatokan pada masa lalu, salah satu ciri makrifat adalah lebih dari sekedar berkaca pada masa lalu atau melihat di masa depan yaitu dengan menyimpulkan awal akhir kehidupan, sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran"

kyai : "hahahah mana dalilnya, ngaco kamu istilah2 kejawen itu tidak ada didalam kitab suciku, itu bid'ah namanya"

cakil : "aku hanya berpedoman pada kitab teles yaitu yg merasuk kedalam semua kitab garing dan semua ciptaanNya, sedangkan apa yg kamu kutip dan baca itu hanya salah satu kitab garing yg kamu pahami ikut2an orang2 sebelum kamu, mosok beragama kok cuman ikut2an kayak ikut parpol buto aja"

kyai : "huuusss berani beraninya kamu melecehkan kitab suci dan agamaku, dasar buto kafir!! sudah sekarang aku mau tahu apa jawaban atas pertanyaanmu sendiri tentang dzikir bermakrifat itu"

cakil : "begini ya pak kyai, sebelum masuk ke makrifat maka akan aku jelaskan dulu tingkatan dzikir dibawahnya yang pertama adalah dzikir secara syar'i dulu yaitu menyebut asma tuhan dengan jumlah tertentu sesuai tuntunan nabimu, atau juga dengan jumlah tertentu yg tidak dicontohkan nabimu juga tidak apa2 asal niatnya baik"

kyai : "terusss??"

cakil : "lalu yg kedua adalah dzikir tarekat, yaitu menyebut asma tuhan sebanyak banyaknya tanpa hitungan hingga menjadikan jiwa2 manusia yg berdzikir itu tenang dan damai, lalu yang ketiga adalah dzikir hakekat yaitu mengambil hikmah dari segala ciptaanNya, didalam segala ciptaaNya termasuk aku yg jelek ini terbersit asma2Nya, lihat dan rasakan itu maka kamu telah berdzikir secara hakekat, apabila kamu hanya berpatokan pada jumlah saja, maka kamu hanya bisa bersyariat saja tapi masih jauh dari yg dinamakan makrifat"

kyai : "terserah apa katamu, yg penting aku hanya menjalankan tuntunan nabiku tanpa merubah sedikitpun dari beliau, apabila diperdengarkan ayat2 tuhanku maka tunduk dan takluklah, kalau tidak mau tunduk dan takluk ya bakalan masuk neraka, o iya kamu belum menjawab pertanyaanmu sendiri tentang dzikir bermakrifat itu"

cakil : "huahahahah itulah bedanya manusia kebanyakan dan buto sepertiku, kamu sebagai wakil dari kebanyakan manusia hanya beragama karena ikut2an lebih2 takut ancaman masuk neraka, maka yg kamu bisa adalah mengutip ayat secara tersurat tapi sedikit tahu yg tersirat, itu disebabkan pemahaman kamu tentang agama hanya bisa tunduk takluk dan terkurung masa lalu, ini lain dengan agamaku sebagai buto, aku belajar tentang kejahatan dari mbah iblis dan belajar kebaikan dari para orang2 suci termasuk nabimu itu, aku bisa melihat di kegelapan malam dan terangnya siang, maka dengan mudahnya aku menggoda manusia yg hanya belajar di kegelapan saja atau terang benderang saja, aku belajar tanpa rasa takut terhadap ancaman apapun termasuk nerakanya simbahmu itu, maka dari itu aku bisa menerangkan sedikit tentang makrifat kepadamu, apabila kamu masih terkurung pada kitab dan agamamu maka mustahil kamu bisa bermakrifat dan mengalahkankan godaanku itu"

kyai : "yah kamu boleh sombong tidak takut neraka, tapi kelak diakhirat kamu akan tahu akibatnya"

cakil : "huahahahahah kamu ini kyai yg lucu, jelaslah aku ini sejenis buto tentu saja sombong dan jahat serta kafir pula, tapi aku sombong dan jahat itu dimaksudkan supaya kamu tidak mengikutiku dan menjadi orang yg rendah hati yg bersyukur, tentu saja aku tidak takut neraka wong hakekat neraka bagi ahli makrifat itu tidak ada, orang yg makrifat yakin betul rahman dan rahimNya itu tanpa batas maka neraka itu tidak ada, yang ada adalah surga tanpa batas"

kyai : "huuusss berani2nya bilang neraka tidak ada, bagaimana dengan nama2 neraka di kitab suciku seperti jahanam, jahiim, huthomah, saqar, wail dsb itu? apa kamu pikir itu isapan jempol belaka?"

cakil : "huahahahahahah bolehkah aku ketawa sombong dulu.....huahahahahaha....kamu ini seperti anak kecil aja yg ketakutan ditakut takuti kalo suka rewel, ya seperti itulah keimanan kamu itu, asal kamu tahu aja, manusia masuk neraka itu karena kesalahannya sendiri, sejak didunia manusia sudah menciptakan nerakanya sendiri seperti memelihara nafsu amarah, suka merugikan orang lain, pendendam, serakah dsb, kamu pikir enak yah hidup sebagai pemarah yg benci terhadap orang2 yg kamu cap kafir itu? itulah nerakamu yaitu sifat pembencimu itu, coba kalau dibikin enak dan santai maka kamu akan bisa mengambil hikmah dan manfaat dari orang2 yg kamu anggap kafir itu, maka inilah ciri orang yg bermakrifat"

kyai : "lha kan di kitabku tertulis bahwa tuhan membenci orang2 yg kafir dan juga murka kepada mereka"

cakil : "huahahahahaha..........boooss kyai, ente dapat pemahaman dari mana kalau tuhan membenci ciptaanNya? kamu pikir Tuhan menciptakan orang2 yg kamu anggap kafir untuk Dia benci? yg menjadi kata kitab sucimu yg mengatakan tuhan benci itukan bermaksud membahasakan bahasa tuhan ke bahasa manusia yg dimaksud adalah kalau berbuat jahat maka akan jauh dari sifat2 ketuhanan,lagian kalo tuhan bener2 benci sekarang pun sudah memasukkan setan dan kawan2 kedalam neraka paling dalam, tapi nyatanya kami masih enjoy2 aja tuh, masih bisa makan minum dan menggoda manusia dengan enak, baik dan jahat itu semua ciptaan tuhan dan punya fungsi masing2 yg menjadi bagian alam semesta ini, maka berpikir dan pahamilah alam semesta ini secara menyeluruh menjadi satu kesatuan kesetimbangan dan gotong royong yg luar biasa, tidak sepotong sepotong atau bersikap anti, maka pemahaman yg menyeluruh lintas ruang waktu baik jahat adalah ciri dari bermakrifat"

kyai : "terserah apa katamu itu, kamu ini setan dan kamu ini pembohong besar, aku tidak akan pernah mengikutimu"

cakil : "hihihihi........aku ini memang buto yg suka menggoda manusia utk berbuat jahat dan aku memang setan, aku memang pembohong dan benar bahwasanya aku memang tidak patut untuk dicontoh, tapi aku jujur mengakui kalo aku ini jahat dan kafir, bandingkan dengan manusia yg mengaku alim taat beragama tapi perilaku dibelakangnya jahat melebihi setan, aku berbuat jahat karena panggilan darma sebagai penguji manusia, sedangkan manusia yg kesetanan berbuat jahat karena demi menuruti hawa nafsunya sendiri, mana yg kelihatannya enak dan menguntungkan maka itulah yg dituruti tidak peduli akan merugikan pihak lain, kamu pikir mana yg lebih jahat antara setan yg ngaku jahat tapi jahat dengan manusia yg katanya mulia yg mengaku baik, alim taat beragama tapi dibelakangnya sangat jahat bahkan melebihi setan?"

kyai : "yayayayaya....aku ngaku kalah, emmag selama ini aku hanya berpedoman pada kitab suciku semata secara tersurat, kamu ini memang setan yg berpengetahuan luas, bahkan aku malu mengakui diriku harus belajar lagi"

cakil : "huahahahah kamu emang berani mengakui kalo kamu barusan kalah berdebat dengan buto jelek dan kafir ini dihadapan santri2mu yg ribuan itu? kamu emang paling jago kalo ngaku benar, tapi penakut kalo ngaku salah dihadapan orang2 yg berseberangan denganmu, apa ini yg dicontohkan oleh nabimu itu? padahal juga salah satu ciri bermakrifat adalah mengakui kesalahan sendiri dan membenarkan pendapat orang lain dalam arti lebih melihat kedalam diri utk melihat hikmah diluar diri kita atau mulat sarira"

kyai : "iya mbah cakil saya memang khilaf, bolehkah saya belajar ilmu makrifat dari mbah cakil ini?"

cakil : "huahahahah karena kamu sudah mengaku salah, maka aku akan menjelaskan apa makna dari dzikir bermakrifat itu, aku hanya bisa mengumpamakan apabila berdzikir secara hakekat itu ibarat mengambil manfaat dari terangnya sinar lentera, maka bermakrifat itu ibarat menjadi lenteranya yg menjadi sumber cahaya dari kehidupannya sendiri serta bagi orang lain, kalau memakai bahasa kejawen adalah jumeneng kalawan pribadi, kalau bahasa arabnya adalah qiyamuhu binafsihi, terserah kamu suka istilah yg mana bebas saja"

kyai : "lalu apa yg harus saya lakukan untuk bisa menjadi lentera bagi diri saya sendiri dan orang lain mbah buto?"

cakil : "huahahahahahahah berat sekali cah bagus, kamu harus melepas surbanmu yg segede ban vespa itu lalu kamu cukur gundul rambut serta jenggot panjangmu itu, kamu juga harus melepas semua pakaianmu hingga telanjang bulat lalu mandilah di mata air kehidupanmu sendiri untuk membersihkan segala ego yg mengotori dirimu yg disebabkan oleh pakaian, surban serta gelarmu itu, percayalah bahwa pakaian jubah, surban, gelar dan jenggotmu itu hanya menjadi kotoran bagi hatimu karena menjadikannya sebagai aksesoris belaka supaya dianggap alim dan taat beragama"

kyai : "baiklah akan saya lakukan itu sebisa saya, lalu kalo boleh saya tahu apa makna makrifat yg sebenarnya mbah buto?"

cakil : "huahahahah aku hanya tahu sedikit cah bagus, maka yg bertanya barangkali lebih makrifat dari yg ditanya"

Filosofi Semar

Filosofi Semar

Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya

Bebadra = Membangun sarana dari dasar

Naya = Nayaka = Utusan mangrasul

Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia

Filosofi, Biologis Semar

Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik”.

Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.

Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”.

Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.

Ciri sosok semar adalah :

Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua

Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan

Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa

Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok

Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya

Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.

Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.

Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .

Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi :

Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.

Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma“, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.

Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri

Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan ” Abdi ” Pamomong ” yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya.

Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah ” menjelma ” ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan.

Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 )

Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.

Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ” yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling ” rasa ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 )

Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon ” Semar Mbabar Jati Diri “. gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4 ( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 – Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon ” Semar Mbabar Jadi Diri ” diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi ” ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka

****************

Merah: keberingasan, sifat toma (angkara murka), ketidaksabaran, rasa wera (amarah)
Hitam dan biru : ketentraman, kebangkitan rohani, kedewasaan
Putih: kemurnian, budi luhur dan tatakrama/Mas
kuning : para narapati dan kaum ningrat.

Warna-warna pada wajah (muka) boneka wayang yang disimping (diatur berjajar) seperti merah, hitam, kuning dan putih juga mempunyai makna simbolik. Keempat warna itu bagi orang jawa melambangkan nafsu amarah, aluamah, sufiah dan mutmainah. Warna-warna itu tidak mengandung satu makna saja tetapi mempunyai makna ganda. Warna merah pada muka Rahwana berbeda artinya dengan warna merah pada Baladewa. Demikian juga setiap daerah mempunyai penafsiran sendiri-sendiri sesuai dengan persepsinya.

Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada ketentuan umum di sini. Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka.

Arjuna dengan warna muka kuning dipentaskan untuk adegan di dalam kraton, sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan bahwa dia sedang dalam perjalanan. Demikian pula halnya dengan tokoh Gatotkaca, Kresna, Werkudara dan lain-lain. Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui oleh penonton yang melihat pertunjukan dari belakang layar.

Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri. Tokoh Arjuna, baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning, adalah tetap Arjuna dengan sifat-sifatnya yang telah kita kenal. Perbedaan warna muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang dan waktu pemunculannya.

Ki Semar

Ki Semar
Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia

Filosofi, Biologis Semar

Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik”.

Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.

Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”.

Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.

ciri sosok semar adalah

Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua

Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan

Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa

Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok

Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya

Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.

Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.

Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .

Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi:

Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.

Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna :

Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma”, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri
Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan ” Abdi ” Pamomong ” yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya.

Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah ” menjelma ” ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan.

Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 )

Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.

Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ” yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling ” rasa ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 )

Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon ” Semar Mbabar Jati Diri “. gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4

( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 – Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon ” Semar Mbabar Jadi Diri ” diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi ” ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer

( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito

( dalam Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka.